Kamis, 20 November 2008

Pengantar Linguistik

1. LINGUISTIK SEBAGAI KAJIAN ILMIAH BAHASA


1.1 Pendahuluan 
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Untuk memahaminya dalam bagian ini diuraikan bagaimana sifat-sifat bahasa, dengan tujuan agar kita dapat membedakan pemakaian kata bahasa sebagai kata yang lazim dipakai oleh masyarakat umum dan sebagai istilah teknis yang mempunyai pengertian khusus dalam linguistik. Di samping itu juga dibicarakan masalah linguistik sebagai ilmu, sehingga kita dapat secara cermat menandai konsep ilmu dan pendekatan ilmiah, serta secara mendalam dapat memahami perbedaan pendekatan linguistis dan pendekatan lain kepada bahasa yang lazim dalam dunia pengajaran di Indonesia dewasa ini.
Pada waktu ini penyelidikan tentang pelbagai aspek bahasa dilakukan orang secara sangat intensif, sehingga linguistik berkembang sangat pesat, secara meluas maupun secara mendalam. Perkembangan seperti itu dapat memukaukan, tetapi dapat juga membingungkan para peminat dan para penuntut lingustik. Bagian pertama ini ditulis agar kita dapat memperoleh gambaran yang tepat tentang bidang-bidang linguistik hingga kalau mau terjun dalam bidang ini, kita tahu harus mulai dari mana.
Linguistik dipelajari dengan pelbagai maksud dan tujuan. Untuk sebagian orang ilmu itu dipelajari demi ilmu itu sendiri; untuk sebagian yang lain linguistik dipelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya, karena dengan mempelajari linguistik lebih mudah orang memahami liku-liku bahasa yang merupakan materi ilmu-ilmu itu.
Bagian ini ditulis untuk mereka maupun untuk orang yang hanya ingin tahu tentang linguistik.

1.2 Hakekat Bahasa
Dalam masyarakat kata bahasa sering dipergunakan dalam pelbagai konteks dengan pelbagai macam makna. Ada orang yang berbicara tentang “bahasa warna”, “bahasa bunga”, “bahasa diplomasi”, “bahasa militer”, dan sebagainya. Di samping itu dalam kalangan terbatas, terutama dalam kalangan orang yang membahas soal-soal bahasa, ada yang bercicara tentang “bahasa tulisan”, “bahasa lisan”, “bahasa tutur”, dan sebagainya.
Istilah bahasa yang pertama tidak dipergunakan dalam linguistik, karena istilah tersebut tidak memiliki pengertian yang cukup tajam. Istilah yang kedua dapat dipergunakan dalam linguistik, karena istilah tersebut memiliki pengertian yang cukup tajam. 
Di sini pengertian BAHASA adalah SISTEM LAMBANG BUNYI YANG ARBITRER YANG DIPERGUNAKAN OLEH PARA ANGGOTA KELOMPOK SOSIAL UNTUK BEKERJA SAMA, BERKOMUNIKASI, DAN MENGIDENTIFIKASI DIRI.
Definisi tersebut perlu dijelaskan dan dirinci sebagai berikut:
Pertama, bahasa adalah sistem, artinya bahasa adalah sejumlah unsur yang terkumpul secara beraturan. Seperti halnya sistem-sistem lain, unsur-unsur bahasa “diatur” seperti pola-pola yang berulang, sehingga kalau salah satu bagian saja terlihat, dapatlah “diramalkan” atau “dibayangkan” keseluruhannya. Misalnya, bila kita menemukan kalimat Ayah mem – koran – dengan segera kita dapat menduga bagaimana bunyi kalimat itu secara keseluruhan. Sifat ini dapat dijabarkan lebih jauh dengan mengatakan bahasa itu sistematis, artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan; di samping itu, bahasa juga sistemis artinya bahasa itu bukanlah sistem yang tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatika, dan subsistem leksikon.
Kedua, bahasa itu sebuah sistem lambang. Yang dimaksudkan dengan lambang ialah tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial berdasarkan perjanjian, dan untuk memahaminya harus dipelajari. Tanda adalah hal atau benda yang mawakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menanggap (melihat, mendengar, dan sebagainya) yang diwakilinya itu. Jadi lambang adalah sejenis tanda.
Ketiga, karena merupakan lambang dan mewakili sesuatu, bahasa itu bermakna, artinya bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya.
Keempat, bahasa itu bersifat konvensional, karena bahasa itu merupakan sistem lambang yang harus dipelajari dan disepakati oleh para pemakainya.
Kelima, bahasa itu sistem bunyi. Apa yang kita kenal sebagai tulisan sifatnya sekunder, karena manusia dapat berbahasa tanpa mengenal tulisan. Beberapa jenis huruf bahkan tidak lain daripada turunan belaka dari bunyi.
Keenam, bahasa bersifat arbitrer, artinya tak ada hubungan wajib antara satuan-satuan bahasa dengan yang dilambangkannya. Contoh mengapa sesuatu benda dinamai pohon, sedangkan oleh kelompok sosial lain disebut wit, atau syajar, atau arbre. Walaupun demikian ada unsur bahasa yang lain yang tidak terlalu bersifat arbitrer, yaitu apa yang disebut anomatope seperti kokok, geram, gemerincing, dan sebagainya yang masih mempunyai kesamaan faktuil dengan apa yang dilambangkannya. Unsur bahasa yang bersifat ikonis semacam itu jumlahnya terbatas.
Ketujuh, bahasa itu bersifat produktif, artinya sebagai sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. Contoh: Bahasa Indonesia mempunyai fonem kurang dari 30, tetapi mempunyai kata lebih dari 30.000 yang mengandung fonem-fonem itu dan dengan fonem-fonem itu masih mungkin diciptakan kata-kata baru. Dari sudut pertuturan bahasa Indonesia hanya mempunyai 5 tipe kalimat, yakni pernyataan, pertanyaan, perintah, keinginan, dan seruan tetapi dengan kelima tipe itu kita dapat menyusun kalimat Indonesia yang jumlahnya ribuan, bahkan mungkin jutaan.
Kedelapan, bahasa bersifat unik, dalam arti tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain.
Kesembilan, kebalikannya, ada pula sifat-sifat bahasa yang dipunyai oleh bahasa lain sehingga sifat-sifat itu ada yang universil, ada yang hampir universil. Contoh: Di dalam bahasa Indonesia pada umumnya ajektif mengikuti nomina, seperti rumah murah, jalan besar, orang pandai, dan sebagainya. Ternyata sifat ini tidak hanya dimiliki bahasa Indonesia, tetapi juga dimiliki bahasa Arab, bahasa Prancis, bahasa Inggris, dan sebagainya.
Kesepuluh, bahasa itu mempunyai variasi-variasi, karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi, dan karena kelompok manusia itu banyak ragamnya, terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda; ada orang tani, ada orang kota, ada yang bersekolah, ada yang tak pernah sekolah; pendeknya yang berinteraksi dalam pelbagai lapangan kehidupan, dan yang mempergunakan bahasa untuk pelbagai keperluan. Kita katakan, tiap orang mempunyai idiolek. Ferdinand de Saussure (1857-1913), bapak linguistik modern, membedakan sistem bahasa yang ada dalam akal budi pemakai bahasa dalam kelompok sosial, yang disebutnya langue (lugah), dan manifestasi dan realisasi fonis dan psikologis yang nyata dalam tiap pemakai bahasa, yang disebutnya parole (kalam).
Kesebelas, bahasa adalah lambang sosial, karena dengan bahasa suatu kelompok sosial mengidentifikasikan dirinya. Contoh: apa yang kita sebut bahasa Cina sebenarnya adalah lambang sosial yang ditandai oleh suatu sistem tulisan yang mengikat jutaan manusia yang terdiri dari pelbagai suku bangsa dan pelbagai bahasa yang cukup jauh perbedaannya. Sebaliknya, bahasa Hindi dan bahasa Urdu dipandang dari sudut struktur sebenarnya satu bahasa, tetapi oleh pemakainya dianggap dua bahasa yang berbeda karena masing-masing menandai dua kelompok yang berbeda. Kenyataan bahwa bahasa adalah lambang sosial hanyalah mengukuhkan apa yang telah lama – entah selama beberapa abad – dikenal orang Melayu dengan pepatahnya BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA.
1.3 Sistem Bahasa 
Dalam bagian di atas telah dinyatakan bahwa bahasa itu sebuah sistem, yang diartikan bahwa bahasa itu sekaligus sistematis dan juga sistemis. Dengan yang terakhir ini dimaksudkan bahwa bahasa itu terdiri darii subsistem fonologi, subsistem gramatika, dan subsistem leksikon. Dalam ketiga subsistem itulah bertemu dunia bunyi dan dunia makna. Bagannya tergambar sebagai berikut:
  III
  I. dunia bunyi
  I II II. dunia makna
  III dunia bahasa

Ilmu tentang bunyi pada umumnya disebut fonetik; bunyi bahasa diteliti atau diuraikan dalam fonologi atau fonemik.
Ilmu atau sistem tentang makna disebut semantik. Fonologi, gramatika, dan leksikon menyangkut segi makna dari bahasa, oleh sebab itu juga mempunyai aspek semantis. Penelitian atau uraian tentang dunia makna yang tidak berhubungan dengan bahasa merupakan bidang filsafat.
Subsistem fonologi mencakup segi-segi bunyi bahasa, baik yang bersangkutan dengan ciri-cirinya (yang diteliti oleh fonetik), maupun yang bersangkutan dengan fungsinya dalam komunikasi.
Subsistem gramatika atau tata bahasa dibagi atas morfologi dan sintaksis. Subsistem morfologi mencakup kata, bagian-bagiannya dan kejadiannya. Subsistem sintaksis mencakup satuan-satuan yang lebih besar dari kata serta hubungan antara satuan-satuan itu.
Subsistem leksikon mencakup perbendaharaan kata suatu bahasa.
1.4 Metode Ilmiah dalam Lingustik
Seperti dikatakan di atas, linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan bahasa. Bagian ini akan menjelaskan ciri-ciri linguistik sebagai ilmu, dan perbedaan dengan pendekatan lain kepada bahasa.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, disiplin ilmiah pada umumnya mengalami perkembangan sebagai berikut:
Pertama, tahap spekulasi. Misalnya, dulu orang mengira bahwa semua bahasa di dunia diturunkan dari Bani Ibrani; dan karena Kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani maka orang mengira juga bahwa Adam dan Hawa memakai bahasa Ibrani di Taman Firdaus. Suku Dayak Iban di Kalimantan mempunyai legenda yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai satu bahasa, tetapi karena mereka keracunan cendawan, mereka mulai berbicara dalam pelbagai bahasa, sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke segala penjuru dunia. Itu semua tentu saja hanyalah spekulasi yang pada zaman ini sulit diterima.
Kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Dalam tahap ini para ahli mengumpulkan dan menggolong-golongkan segala fakta secara teliti, tanpa memberikan teori apapun. Tahap ini dialami misalnya oleh penelitian yang dijalankan sarjana-sarjana Belanda terhadap bahasa-bahasa di Indonesia sebelum zaman kemerdekaan; sekarang cara pendekatan semacam ini masih diperlukan karena banyak bahasa di Indonesia belum diselidiki, tetapi pendekatan demikian belumlah dapat dikatakan “ilmiah” benar-benar, karena ilmu yang matang bukan hanya merupakan kumpulan fakta-fakta belaka; ilmu yang matang harus mengalami tahap tersebut di bawah ini.
Ketiga, tahap perumusan teori. Dalam tahap ini suatu disiplin berusaha memahami masalah-masalah dasar dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang masalah-masalah itu. Kemudian dalam disiplin itu dirumuskan hipotesa atau teori yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan menyusun test untuk menguji hipotesa-hipotesa itu terhadap fakta-fakta yang ada. Linguistik dewasa ini sudah mengalami tahap ketiga tersebut.
Adalah wajar bila kita bertanya di mana letak keilmiahan linguistik. Para pemikir ilmu pengetahuan di luar maupun di dalam bidang linguistik pada umumnya sepakat bahwa setiap usaha yang memakai sifat ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. syarat keeksplisitan
2. syarat kesistematisan, dan 
3. syarat keobyektifan..
Syarat keeksplisitan dipenuhi dengan menyatakan secara jelas kriteria yang mendasari suatu penelitian dan menyusun peristilahan secara jelas dan konsisten. Kriteria yang eksplisit diperlukan oleh seorang penyelidik untuk menandai apa-apa yang ditelitinya. Misalnya kita harus menyelidiki kalimat dalam bahasa Indonesia, kita harus mengetahui apa saja yang ada dalam sesuatu yang disebut kalimat itu, oleh sebab itu kita menentukan hal itu lebih dahulu sehingga bagi orang lain jelas apa yang kita maksud. Peristilahan yang konsisten pun merupakan syarat pendekatan ilmiah: harus jelas bagi orang lain apa definisi istilah-istilah yang kita pakai, dan tidak boleh ada kontradiksi antara satu istilah dengan istilah lain.
Syarat kesistematisan. Seorang pemikir ilmu pengetahuan bernama F.N. Kerlinger mengatakan bahwa pendekatan ilmiah adalah “a special systematized form of all reflective thinking and inquiry”. Untuk memenuhi syarat kesistematisan setiap ilmu menyusun prosedur standar yang harus dipergunakan dalam penelitian. Penyelidik memulai analisisnya dengan melihat pelbagai aspek dari data dan menghubungkan aspek-aspek yang lain dengan titik tolak itu. Misalnya seorang ahli bahasa yang menyelidiki bunyi bahasa akan memulai dengan menentukan apa yang dimaksudkan dengan vokal dan konsonan kemudian menyelidiki bagaimana satuan-satuan yang lebih besar seperti kata, kalimat, dan sebagainya. Dan baru kemudian ia akan menyelidiki makna dan baru pada akhirnya menyelidiki bunyi. Dalam mengikuti prosedur ini yang penting ialah si penyelidik itu bertindak secara konsisten. Syarat kesistematisan dipenuhi pula dengan menentukan kerangka deskriptif yang dipakainya untuk menyesuaikan pandangannya tentang data, karena setiap penyelidik harus mengetahui, walaupun sedikit, apa yang harus dilihat dan dicari, dan ia tidak mungkin memulai dengan pikiran atau pandangan yang kosong. Kerangka deskriptif ini merupakan suatu versi pendahuluan dari deskripsi akhir yang diharapkan si penyelidik dapat disusun kemudian. Kerangka deskriptif ini pada mulanya tidak begitu lengkap dan tidak begitu jelas, tetapi dalam pekerjaan selanjutnya kerangka deskriptif ini terus-menerus disempurnakan.
Syarat kesistematisan dipenuhi pula dengan keharusan adanya pengujian yang ketat terhadap hipotesa, perkiraan atau pandangan tentang bahasa. Pengujian yang ketat terhadap hipotesa dilakukan dengan mengadakan kontrol terhadap segala kemungkinan yang ada: semua kemungkinan itu harus dijelaskan dan saling pengaruh semua kemungkinan itu harus diketahui.
Syarat yang ketiga, ialah syarat keobyektifan. Istilah obyektif mempunyai pelbagai makna:
(1) sikap terbuka dalam analisa;
(2) sikap kritis dengan "mencurigai" setiap hipotesa sampai dapat dibuktikan secara memadai;
(3) berhati-hati terhadap prasangka-prasangka;
(4) berusaha sejauh mungkin memakai prosedur standar yang telah ditentukan.
Pengertian-pengertian itu juga dipergunakan dalam linguistik dan ilmu-ilmu lain. Untuk memenuhi syarat keobyektifan diadakan penyelidikan terhadap data dengan eksperimen yang terkontrol; hasilnya harus terbuka terhadap pengamatan dan penilaian langsung, sehingga bila eksperimen itu diulangi, hasilnya dan penilaiannya akan tetap sama.
Penyelidikan linguistik dewasa ini sudah berusaha untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas. Jadi linguistik sekarang ini bukan hanya mengumpulkan fakta-fakta secara sistematis, seperti halnya dalam tahap kedua tersebut di atas, melainkan menyusun teori tentang bahasa dan seluk-beluknya. Teori itu tidak lain daripada penjelasan tentang data; teori itu bukan hanya ringkasan atau penjelasan tentang data tertentu saja. Yang dituju oleh pendekatan ilmiah ialah teori atau penjelasan yang dapat menjangkau semua data, baik yang mula-mula diselidiki maupun data yang lain, bahkan data apapun yang dapat dihasilkan dengan kerangka yang sama. Dalam hubungan ini linguistik berusaha untuk menjelaskan data yang berupa ujaran yang dipakai oleh bahasawan serta intuisi tentang bahasa yang mendasari kemampuan bahasa orang (Crystal 1971).
Untuk dapat diterima suatu teori harus:
1. tuntas, artinya dapat mencakup semua fakta.
2. konsisten, artinya tidak mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan.
3. sederhana, artinya mengungkapkan pernyataan-pernyataan secara lugas tentang data (Robins 1970).
Sebagai ilmu yang berusaha menyusun teori tentang bahasa linguistik mempergunakan metode induktif dan deduktif. Metode induktif adalah proses yang berlangsung dari fakta ke teori, dan metode deduktif berlangsung dari teori ke fakta. Metode deduktif dilaksanakan dengan merumuskan hipotesa lebih dahulu, kemudian mengujikannya pada data.
Uraian di atas menjelaskan betapa pendekatan linguistik berbeda dari pendekatan-pendekatan lain kepada bahasa selama ini. Dapat pula ditambahkan di sini hal-hal yang lebih menekankan perbedaan itu:
Pertama. linguistik mendekati bahasa secara deskriptif dan tidak secara perspektif, artinya yang dipentingkan dalam linguistik ialah apa yang sebenarnya diungkapkan seseorang, dan bukannya apa yang menurut si penyelidik seharusnya diungkapkan. Bukanlah tugas linguistik menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan apa yang betul atau apa yang salah (Harimurti Kridalaksana 1978).
Kedua, linguistik berbeda dari pendekatan-pendekatan lain dalam hal tidak berusaha untuk memaksakan sesuatu bahasa dalam kerangka bahasa yang lain. Misalnya beberapa puluh tahun yang lalu banyak ahli bahasa yang meneliti bahasa-bahasa di Indonesia dengan menerapkan kategori-kategori yang berasal dari bahasa Latin, Yunani, atau Arab, sehingga kita sekarang mewarisi konsep-konsep yang tidak cocok untuk bahasa-bahasa di Indonesia seperti kata majemuk, tekanan, pengacauan bunyi fonem –huruf, dan sebagainya. Pendekatan terhadap bahasa yang sudah-sudah tidak melihat bahwa tiap bahasa itu mempunyai sistem yang khas. Memang ada pula bahasa-bahasa yang mempunyai sistem yang bersamaan, sistem yang bersamaan ini baru dapat diakui bila telah dibuktikan adanya. 
Ketiga, linguistik juga memperlakukan bahasa sebagai suatu sistem dan bukan hanya sebagai kumpulan dari unsur-unsur yang terlepas. Cara pendekatan semacam ini disebut pendekatan strukturil, sedangkan pendekatan bahasa yang menganggapnya sebagai kumpulan unsur-unsur yang tidak berhubungan satu sama lain disebut pendekatan atomistis. Pendekatan terakhir ini menandai ilmu bahasa abad ke-19 dan sebelumnya.
Keempat, linguistik memperlakukan bahasa bukan sebagai sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang selalu berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya pemakainya. Oleh sebab itu pendekatan kepada bahasa dapat dilakukan secara deskriptif (sinkronis), yaitu dengan mempelajari pelbagai aspeknya pada suatu masa tertentu, atau secara historis (diakronis), yaitu dengan mempelajari perkembangannya dari waktu ke waktu.
Seperti disebutkan dalam bagian pertama bahasa itu primer bunyi, dan tulisan hanyalah turunan belaka dari bunyi. Dalam pendekatan kepada bahasa yang tidak bersifat linguistis sering dikacaukan bunyi dan huruf.
1.5 Linguistik sebagai ilmu sosial-budaya
Ilmu pengetahuan dapat dibagi atas 3 bidang besar:
1. ilmu pengetahuan alam; termasuk di dalamnya ilmu kimia, biologi, botani, geologi, astronomi, dan sebagainya;
2. ilmu pengetahuan sosial-budaya (juga disebut ilmu pengetahuan kemanusiaan); termasuk di dalamnya antropologi, sosiologi, ilmu kesusastraan, ekonomi, dan sebagainya;
3. ilmu pengetahuan formal (juga disebut ilmu pengetahuan apriori); termasuk di dalamnya logika dan matematika.
Tidak terlalu sulit kiranya untuk menerima bahwa linguistik adalah salah satu ilmu pengetahuan sosial-budaya (Inggris: humanites; Jerman: Geisteswissenschaften). Perlu dijelaskan di sini pemisahan ilmu sosial dari ilmu kemanusiaan pada hakekatnya tidak dapat diterima karena fenomena sosial tergantung sepenuhnya dari ciri-ciri manusia, sebaliknya ilmu tentang manusia tidak dapat tidak harus bersifat sosial.
Jean Piaget, ahli psikologi dan pemikir ilmu pengetahuan Swis, membagi ilmu pengetahuan sosial atas 4 cabang:
1. ilmu-ilmu nomotetik,
2. ilmu-ilmu sejarah,
3. ilmu-ilmu hukum, dan 
4. ilmu-ilmu filsafat.
Linguistik termasuk dalam ilmu-ilmu nomotetik, yakni ilmu-ilmu yang berusaha untuk mencari kaidah-kaidah, mempergunakan metode eksperimentil dan berusaha untuk memusatkan perhatian pada bidang yang terbatas. Tergolong pula sebagai ilmi nomotetik ialah psikologi, sosiologi, entologi, ekonomi, dan demografi (Piaget 1970). Jean Piaget mengatakan bahwa beberapa aspek pendekatan bahasa bersifat historis. Dapat juga kita tambahkan bahwa ada pula beberapa aspek bahasa yang dapat didekati secara filosofis.
Sekalipun linguistik merupakan salah satu ilmu sosial atau kemanusiaan, namun kedudukannya sebagai ilmu yang otonom tidak perlu diragukan lagi, karena linguistik menyelidiki bahasa sebagai data utama. Tambahan pula linguistik sudah mengembangkan seperangkatan prosedur yang sudah dianggap standar.
Di samping linguistik ada pula ilmu-ilmu lain yang berminat pada bahasa. Ilmu-ilmu itu antara lain: antropologi, filsafat, ilmu kesusastraan, psikologi, dan sosiologi. Berlainan dengan linguistik perhatian mereka kepada bahasa bukan sebagai bahan yang utama, melainkan sebagai sesuatu yang bersifat tambahan.

1.6 Pembidangan dalam linguistik
Pada dasarnya linguistik mempunyai 2 bidang besar, yaitu:
I. mikrolinguistik : bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalamnya; dengan perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri.
II. makrolinguistik : bidang linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa; termasuk di dalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Lyons 1975).

Dari sudut tujuan linguistik dapat pula dibagi atas:
- linguistik teoritis, yaitu bidang penelitian bahasa untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa.
- linguistik terapan, yaitu penelitian atau kegiatan dalam bidang bahasa yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
Linguistik teoritis dapat bersifat umum, dapat juga bersifat khusus. Linguistik teoritis umum (sering juga disebut linguistik umum saja) berusaha untuk memahami ciri-ciri umum dalam pelbagai bahasa; sedangkan linguistik teoritis khusus berusaha untuk menyelidiki ciri-ciri khusus dalam bahasa saja.
Di samping bidang-bidang tersebut terdapat pula penyelidikan bahasa yang bersifat interdisipliner, yaitu bidang penelitian bahasa yang bahannya maupun pendekatannya mempergunakan dan dipergunakan oleh ilmu lain.
Di luar kedua bidang besar itu terdapat lagi sejarah linguistik, yakni cabang ilmu yang menyelidiki perkembangan seluk-beluk ilmu linguistik itu sendiri dari masa ke masa serta mempelajari pengaruh ilmu-ilmu lain dan pengaruh pelbagai pranata masyarakat (seperti kepercayaan, adat istiadat, pendidikan, dan sebagainya) terhadap linguistik sepanjang masa. 
 
Bagan Pembidangan Linguistik



Bidang teoritis Bidang interdisipliner
Umum



Khusus (1) teori linguistik
(2) linguistik deskriptif
(3) linguistik historis komparatif

(1) linguistik deskriptif
(2) linguistik historis komparatif - fonetik
- stilistika
- filsafat bahasa
- psikolinguistik
- sosiolinguistik
- etnolinguistik
- filologi
- semiotika
- epigrafi
  
Bidang terapan
  - pengajaran bahasa 
- penerjemahan
- leksikografi
- fonetik terapan
- sosiolinguistik terapan
- pembinaan bahasa internasional
- pembinaan bahasa khusus
- linguistik medis
- grafologi
- mekanolinguistik





Keterangan:
memisahkan mikrolinguistik dan makrolinguistik
memisahkan bidang bukan terapan dan bidang terapan
 
Teori linguistik adalah cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada teori umum dan metode-metode umum dalam penyelidikan bahasa.
Linguistik deskriptif juga disebut linguistik sinkronis, adalah bidang linguistik yang menyelidiki sistem bahasa pada waktu tertentu saja. Misalnya, bahasa Indonesia dewasa ini, bahasa Inggris yang dipakai oleh Shakespeare, dan sebagainya, tanpa memperhatikan perkembangannya dari waktu ke waktu.
Cabang ini terbagi atas:
1) fonologi deskriptif
2) morfologi deskriptif
3) sintaksis deskriptif
4) leksikologi deskriptif
Fonologi meneliti ciri-ciri bunyi dan fungsi bunyi. Morfologi menyelidiki kata, bagian-bagiannya dan kejadiannya. Sintaksis menyelidiki satuan yang lebih besar dari kata, serta hubungan antara satuan-satuan itu. Morfologi dan sintaksis lazim juga disebut tata bahasa atau gramatika. Leksikologi menyelidiki perbendaharaan kata atau leksikon.
Linguistik historis komparatif (diakronis) menyelidiki perkembangan bahasa dari satu masa ke masa lain, serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain. Misalnya penyelidikan tentang perkembangan bahasa Melayu Kuno yag tertulis pada prasasti-prasasti Sriwijaya sampai ke bahasa Melayu Klasik hingga bahasa Indonesia sekarang ini. Contoh lain: studi perbandingan bahasa-bahasa di Indonesia, karena para sarjana memperkirakan bahwa bahasa-bahasa itu pada zaman dahulu merupakan satu bahasa (disebut bahasa purba).
Linguistik historis komparatif terbagi pula atas:
- fonologi historis komparatif
- morfologi historis komparatif
- sintaksis historis komparatif
- leksikologi historis komparatif
Telah dinyatakan bahwa bahasa juga mempunyai aspek makna atau aspek semantis. Penyelidikan tentang aspek ini, baik yang bersifat teoritis umum, maupun yang bersifat deskriptif dan yang bersifat historis komparatif, disebut semantik. (Bidang ini sering disebut semantik linguistis, untuk membedakannya dengan semantik filosofis, yakni cabang ilmu filsafat yang juga menyelidiki makna).
Bidang-bidang interdisipliner
Fonetik ialah ilmu yang menyelidiki bunyi; ilmu interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi, dan psikologi. Dalam linguistik bidang ini dianggap penting, karena menyangkut bunyi bahasa.
Stilistika ialah ilmu yang menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoritis linguistik; ilmu interdisipliner dengan filsafat.
Psikolinguistik ialah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan perilaku dan akal budi manusia; ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi.
Sosiolinguistik ialah ilmu yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. (Bidang ini juga disebut linguistik antropologi).
Filologi ialah ilmu yang mempelajari bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Semiotika ialah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda, misalnya tanda-tanda lalu lintas, kode Morse, dan sebagainya.
Epigrafi ialah ilmu yang mempelajari tulisan kuno pada prasasti-prasasti.


Linguistik terapan
Pengajaran bahasa mencakup metode-metode pengajaran bahasa, bahan pelajaran bahasa, cara-cara mengajar bahasa.
Penerjemahan mencakup metode dan teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke bahasa lain.
Leksikografi mencakup metode dan teknik penyusunan kalimat.
Fonetik terapan mencakup metode dan teknik pengucapan bunyi-bunyi dengan tepat, misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk melatih pemain drama, dan sebagainya.
Sosiolinguistik terapan mencakup pemanfaatan wawasan-wawasan sosiolinguistik untuk keperluan yang praktis, seperti perencanaan bahasa, pembinaan bahasa, pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Pembinaan bahasa internasional mencakup usaha untuk menciptakan komunikasi dan saling pengertian internasional dengan menyusun bahasa buatan seperti Esperanto, Novial, Basic English, dan sebagainya.
Pembinaan bahasa khusus mencakup penyusunan peristilahan dan gaya bahasa dalam bidang-bidang khusus, misalnya dalam kalangan militer, dalam dunia penerbangan, dalam dunia pelayaran, dan sebagainya.
Linguistik medis mencakup cacat bahasa dan sebagainya (juga disebut patologi bahasa).
Grafologi ialah ilmu tentang tulisan.
Mekanolinguistik mencakup penggunaan linguistik dalam ilmu komputer dan usaha untuk membuat mesin penerjemahan; dan juga usaha memanfaatkan komputer dalam penyelidikan bahasa, misalnya dalam menyusun konkordans teks-teks, dalam perhitungan frekwensi kata-kata (untuk perkamusan dan untuk pengajaran bahasa). Bidang ini juga disebut linguistik komputasi. (Pembidangan linguistik secara lain dilakukan oleh Hymes 1968). Perlu dijelaskan bahwa istilah untuk cabang-cabang linguistik itu tidak selamanya dipakai secara ketat, karena batas antara satu cabang dengan cabang lain sering tidak selalu jelas. Dalam buku ini, misalnya, apa yang disebut sosiolinguistik dibicarakan dalam bab tentang bahasa dalam masyarakat dan kebudayaan.
Begitu luas bidang linguistik! Jelas tidak ada seorang pun yang menguasai semua bidang itu; apalagi kita yang baru mulai mengenal ilmu ini. Memang bukan itu yang dituntut dari para peminat linguistik.
Dari segala bidang itu yang dianggap inti ilmu linguistik ialah mikrolinguistik. Dalam cabang linguistik manapun kita ingin berkecimpung, perlulah kita mulai dengan mempelajari linguistik umum dan linguistik khusus. Jadi bila kita ingin menjadi ahli fonetik atau ahli sosiolinguistik atau penerjemah atau ahli perkamusan, seyogyanya lebih dahulu kita mendalami dasar-dasarnya, yaitu mikrolinguistik.
1.7 Manfaat linguistik
Manfaat langsung dapat diperoleh para penuntut yang akan memperdalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa. Misalnya orang yang akan memperdalam kesusastraan harus memaklumi sifat-sifat bahasa, kemampuannya dan batas-batas kemampuannya, karena kesusastraan tidak mengkin ada bila tidak ada bahasa. Orang yang akan memperdalam filologi pun perlu mendalami sifat-sifat bahasa, karena walaupun tujuan akhir filologi ialah memahami kebudayaan suatu bangsa, namun hal itu tidak akan tercapai bila si penyelidik tidak memahami teks-teks tertulis. Bahasalah yang laing langsung mencerminkan alam pikiran suatu bangsa.
Para penuntut linguistik akan memperoleh juga bila tujuan akhirnya hanyalah akan belajar bahasa atau akan menjadi guru bahasa, yakni dengan memahami sifat-sifat dan ciri-ciri bahasa pada umumnya maupun bahasa yang akan dipelajarinya. Tujuan pengajaran bahasa pada dasarnya lebih sempit daripada tujuan linguistik, tetapi dengan memahami secara mendalam ruang lingkup linguistik penuntut atau guru bahasa dapat melakukan pemilihan bahan dan perjenjangan pengajaran secara lebih rapi. Linguistik bersifat deskriptif; kebalikannya, pengajaran bahasa bersifat normatif. Dengan mempelajari linguistik yang demikian luas jangkauannya guru bahasa dapat merumuskan norma-norma yang harus diajarkannya secara realistis.
Seperti sudah diuraikan di atas, bahasa yang menjadi identitas kelompok sosial, misalnya kelompok agama, bangsa, suku, dan sebagainya. Sering kita mendengar kabar tentang terjadinya pertikaian suku atau bangsa karena bahasa, misalnya yang terjadi di Kanada, Belgia, India, atau Srilangka. Para penuntut ilmu politih atau sosiologi akan lebih mudah memahami pertikaian semacam itu bila fakta-fakta linguistik juga dipahami.
Linguistik mempunyai manfaat teoritis bagi orang yang mempelajari bahasa secara mendalam; bagi yang lain linguistik mempunyai manfaat praktis.
Penjelasan kata-kata sukar
Istilah-istilah akan dipahami para pemakai buku ini setapak demi setapak selama mereka mengikuti kuliah pengantar linguistik. Di bawah ini dijelaskan sebagian kata atau istilah yang termuat dalam bab 1 ini. Diharapkan agar para pembaca mencari arti kata atau istilah lain yang dianggapnya sulit dalam kamus.
bahasawan: pemakai bahasa; penutur bahasa
disiplin: 1. bidang ilmu pengetahuan; 2. tata tertib; sikap teratur; sikap dapat mengatur diri
eksplisit: tegas; nyata-nyata
fon: bunyi; bunyi bahasa
fonem: satuan bunyi terkecil yang membedakan makna, misalnya dalam bahasa Indonesia h adalah fonem, karena membedakan makna kata harus dan arus; b dan p adalah dua fonem yang berbeda karena bapa dan papa berbeda makna.
fonis: bersangkutan dengan fon
identitas: kesamaan dalam sifat atau ciri
idiolek: keseluruhan ciri-ciri bahasa seorang manusia
ikonis: (berasal dari kata yunanietikon, gambar, gambaran) berkaitan dengan gambaran, langsung menimbulkan pertalian dengan benda yang digambarkannya. unsur bahasa yang ikonis unsur bahasa yang langsung berkaitan dengan perbuatan, benda atau hal yang digambarkannya, seperti kokok dengan suara ayam, gemeretak dengan suara gigi, dan sebagainya.
interaksi: perbuatan yang saling mempengaruhi
klasifikasi: penggolongan
komunikasi: penyampaian amanat, gagasan, dan sebagainya
konfiks: imbuhan tunggal yang terjadi dari dua bagian yang terpisah, misalnya ke-an dalam keadaan, kelaparan, dan sebagainya.
konkordans: daftar kata-kata utama yang terdapat dalam teks atau karya seorang pengarang, disusun menurut abjad, dilengkapi dengan konteks tiap kata.
konvensi: perjanjian (kata sifatnya: konvensionil)
manifestasi: kenyataan, pernyataan
morfem: satuan tata bahasa yang terkecil yang mengandung makna, misalnya kata terlepas terjadi dari morfem ter- dan lepas; kata Inggris reader terjadi dari morfem read dan -er.
observasi: pengamatan
anomatope: kata peniru bunyi; tiruan bunyi, misalnya ngeong, jengkrik, dan sebagainya.
produktif: mampu menghasilkan terus
realisasi: perwujudan
sekunder: bersifat nomor dua; kurang penting dibandingkan dengan yang primer, yang utama
sistem: kumpulan hal-hal yang teratur (kata sifatnya: sistematis dan sistemis)
sistematik: yang bersangkutan dengan sistem atau tata cara sesuatu
spekulasi: 1. perkiraan, tanpa usaha untuk membuktikan; 2. perbuatan untung-untungan
unik: khas; tak ada duanya
universal: ada di mana-mana dan berlaku bagi semua
variasi: keanekaragaman.

Kepustakaan
Aitchison, J., General LInguistik, London: The English Universities Press Ltd., 1974
Bochenski, J.M., The Methods of Contemporary Thought, Dordrecht: Reidel, 1965
Crystal, D., Linguistics, Harmondsworth: Penguin, 1971
Harimurti Kridalaksana, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa, Ende Flores: Nusa Indah 1978, cet. ke-2
Hassan, Abdullah (ed.), Rencana Linguistik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1978
Hymes, D., "Linguistics; the field" dalam International Encyclopedia of the Social Sciences, 1968, jilid 2
Lyons, J., "Linguistics" dalam The New Encyclopedia Britannica; Macropaedia, 1975, jilid 10
Marsoedi, I.L., Pengantar Memahami Hakikat Bahasa, Malang: IKIP, 1978
Piaget, J., "The Place of The Science of Man in The System of Sciences" dalam Main Trends of Research in the Social and Human Sciences, 1970
Robins, R.H., General Linguistics; an Introductinory Survey, London: Longman, 1970, edisi ke-2
Samsuri, Bahasa dan Ilmu Bahasa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972
Verhaar, J.W.M., Pengantar Linguistik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.